Rabu, 22 Oktober 2014

Way Sangarus Sumber Penghidupan Baru



 

Ini adalah pengalaman saya ketika pertama kali mengunjungi sebuah "Genangan" begitu biasa masyarakat lokal menyebutnya. "Genangan" yaang dimaksud adalah sebuah aliran sungai yang dibendung sehingga menyerupai danau. Way Sangarus adalah nama dari genangan itu. Nama itu diambil dari sungai Sangarus yang tadinya mengalir  di antara Talang 20 Desa Airnaningan dan Talang 7 Desa Lebuai  sebelum adanya bendungan Batu Tegi Kabupaten Tanggamus-Lampung. Genangan Way Sangarus adalah salah satu anak sungai yang menjadi terusan bendungan Batu Tegi yang dibuat pada tahun 1985, sedangkan Bendungan Batu Tegi baru diresmikan pada tahun 2003.

Udaranya sangat sejuk, nampak juga pepohonan menghiasi sepinggiran genangan. Terlihat juga burung-burung melayang diatas langit genangan. Suasananya begitu tenang dan asri sehingga dapat membuat siapa saja yang datang akan merasa kagum. Saya menaiki sampan milik seorang nelayan lokal disana. Bersama dengan Febrilia Ekawati sahabat saya, dan Mbah Sangkrah dan Ibu Sri Rejeki. Kami mengelilingi genangan sambil menikmati pemandangan.

Menurut cerita dari Mbah Sangkrah salah seorang warga lokal disana,  sebelum menjadi genangan sekitar lokasi tersebut merupakan kebun masyarakat dengan potensi kayu sengon. Tumbuhan sengon sendiri tersebar tumbuh liar dengan jarak yang tidak merata.
Dia (mbah Sangkrah) juga menceritakan bahwa genangan tersebut mempunyai kedalaman hingga 20 meter dan menenggelamkan bukit-bukit kebun msyarakat.

Meski demikian, Way Sangarus telah memberi penghidupan baru bagi warga sekitarnya. Ada yang menjadi nelayan, dan ada yang menjual jasa penyewaan perahu. Selain itu, kiambang yang terlihat mencemari dan menutupi genangan ternyata dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos. 
Seperti namanya Way Sangarus yang artinya sang air yang berarus telah membawa masyarakat sekitar menjadi lebih baik dalam peningkatan ekonomi. Ini patut disyukuri dengan tidak mengotori ataupin merusak warisan alam yang kita punya.

Itulah cerita pengalaman saya dari Way Sangarus, yang selalu memanggil saya untuk datang kembali.
Safe The Water Means Safe The Earth!

Senin, 20 Oktober 2014

...

Ketika suatu pencapaian tidak dihargai..
mungkin itu adalah kata yang cocok untuk apa yang terjadi pada lingkungan A..
setiap orang mempunyai kapasitas intelektual yang berbeda-beda.
ada yang dilahirkan dalam kondisi yang sudah cerdas tapi ada pula yang harus mengasah kecerdasan melalui pengalaman sehingga dewasa baru mendapat "kecerdasan".
dan A mendapatkan "kecerdasan" dalam proses pembelajaran yang panjang.
A selalu berfikir bahwa belajar adalah sebuah proses. Proses dimana setiap orang akan memahami atau malah "menolak" .

Dalam lingkungannya A dituntut untuk menjadi tahu dengan instan. A harus giat belajar, baik belajar bersama kelompoknya ataupun belajar secara individu. A sangat senang jika banyak orang disekelilingnya yang memberi ilmu ataupun masukan. tapi A sangat tidak bisa terima ketika suatu pekerjaan ataupun pencapaiannya tidak dihargai sedikitpun.
A tidak bermaksud egois, hanya saja A ingin apapun kerja keras yg telah dibuat bisa dihargai walaupun itu belum benar. dalam proses belajar pasti akan ada kesalahan, lalu A ingin tahu cara pembenarannya bukan penjabaran atas kesalahan.
Seorang leader tentu harus membantu anggotanya ketika si anggota tersesat ataupun salah jalan. A inginkan itu!! tapi leader tidak demikian.
Leader menolak tindakan A yang salah sehingga membuat A kecewa.
Leader ayolah mengerti, A masih ingin belajar. Dia hanya belum mengerti, tolong rubah sudut pandangmu itu!

Sistem Perdagangan Kopi di Desa Airnaningan Kabupaten Tanggamus



Panen kopi yang melimpah di Airnaningan kabupaten tanggamus Lampung tidak berdampak pada kesejahteraan petani. Menurut kesaksian ari (19) yang disampaikan pada hari sabtu 12/10/2014, seluas 1 ha lahan kopinya menghasilkan 1 ton kopi, tetapi harga jual ditengkulak tidak sesuai. Harga ditengkulak Rp.16.000/kg sementara di kota Bandar Lampung harga jual kopi Rp.20.000/kg.

Menurut Ari (19), ketergantungan petani terhadap tengkulak terjadi karena sistem “utangan” yang memperbolehkan petani mengambil stok logistik dan akan dibayar setelah musim panen kopi tiba.


“Biasanya kami boleh ambil beras, belanjaan dan pinjaman uang dari toke (tengkulak)”, ujarnya.

Kelompok Tani Tirto Kencono yang kini tergabung dalam Koperasi Tirto Kencono selama ini belum mampu menghentikan laju dominan tengkulak. Sistem simpan pinjam pada kelompok belum mampu memenuhi kebutuhan ekonomi anggota.
Dalam suatu kesempatan, ketua koperasi ibu Sri Rejeki (52) mengatakan bahwa koperasi yang dia dirikan belum mampu memberi pinjaman kepada anggota dikarenakan kas koperasi tidak mencukupi. Hal ini terjadi akibat tidak tertibnya kelompok untuk membayar iuran wajib dan iuran pokok anggota.

“Terus terang saya dan pengurus koperasi belum bisa membuat anggota beralih menjual hasil panennya kepada koperasi, kami kekurangan modal, apalagi untuk pinjaman. Biasanya ada saja anggota koperasi yang pinjam uang tapi susah untuk membayar”, ujarnya.

Kabupaten Tanggamus yang terkenal akan kopinya ternyata menyimpan persoalan terhadap sistem perdagangan yang ada. Padahal seharusnya petani bisa menikmati hasil dari kerja kerasnya selama bertahun-tahun dari menanam dan memelihara kopi.
Kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab atas apa?

Senin, 13 Oktober 2014

Starbuks VS Kopi "Gerobak"



Kopi merupakan minuman yang mendunia. Di Indonesia kopi menjadi minuman utama masyarakat baik di Perkotaan maupun di Pedesaan. Dari dua ratus jutaan penduduk Indonesia hampir 70% nya adalah penikmat kopi. Tak jarang banyak kedai kopi yang mempuka lapaknya sampai membuka kafe yang berjualan minuman kopi.

Salah satu contoh gerai kopi yang terkenal di indonesia adalah Starbucks. Di sana menawarkan aneka jenis minuman kopi dengan harga yang fantastis. Secangkir kopi hitam bisa dihargai Rp.30.000. Bayangkan bila anda mengajak 5 teman hanya untuk sekedar minum kopi disana. Berbanding terbalik dengan yang biasa kita minum di warung kopi pinggir jalan, harga kopi hanya Rp.3.000 rupiah. Sepuluh kali lipat lebih murah, kenapa bisa demikian?  Padahal untuk rasa, warung kopi pinggir jalan tak kalah nikmat dengan yang ada di kafe-kafe ternama.

Yang menjadi persoalan adalah tampilan dari kopi yang disuguhkan. Bila kita pergi ke kafe tentu dari tempatnya pun sudah terasa nyaman, selain itu packaging dari kemasan kopi pun sangat menarik. Itu yang membuat konsumen tertarik untuk minum di kafe dan membeli kopi kemasan yang mereka jual.

Bukankah strategi ini  bisa dicontoh para pengusaha warung kopi  untuk menarik konsumen dengan tampilan minuman kopi yang lebih menarik.